
Bariskabar - Musim 2025/2026 menjadi salah satu periode paling rumit dalam sejarah panjang Juventus. Klub asal Turin yang selama puluhan tahun dikenal dengan kedisiplinan, efisiensi, dan deretan gelar kini tengah terpuruk di dua sisi sekaligus — lapangan dan keuangan.
Para penggemar setia mungkin mulai lelah menyaksikan tim kesayangan mereka kehilangan arah, sementara manajemen tampak kesulitan mengendalikan kerusakan yang makin meluas.
Di Serie A, Juventus kehilangan daya gigitnya. Gol terasa seperti barang langka, kemenangan jadi mimpi yang belum juga terwujud, dan posisi di klasemen perlahan melorot ke papan tengah. Dalam tiga laga terakhir, mereka bahkan gagal mencetak satu pun gol. Para pemain tampak kehilangan motivasi, sementara pelatih Igor Tudor harus memutar otak mencari solusi.
Namun, yang lebih mencemaskan justru datang dari ruang rapat manajemen. Kondisi keuangan Juventus tengah berada di ambang krisis. Klub menghabiskan dana besar untuk membayar dua pelatih sekaligus — yang satu masih bekerja, yang lain sudah dipecat tapi tetap menerima gaji. Selain itu, penyelidikan UEFA terkait pelanggaran Financial Fair Play membuat situasi semakin rumit.
Bagi klub sebesar Juventus, ini bukan sekadar masalah sementara. Ini adalah ujian serius terhadap arah klub, visi manajemen, dan masa depan mereka di Eropa. Mari kita bahas lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Juventus bisa sampai di titik ini, dan apakah ada harapan untuk bangkit kembali.
Lini Serang Mandul, Lini Belakang Tak Stabil
Krisis Juventus musim ini dimulai dari hal paling sederhana: mereka tidak bisa mencetak gol. Dalam dunia sepak bola modern, serangan menjadi simbol identitas tim. Namun Juventus kehilangan ciri khas itu. Dusan Vlahovic yang diharapkan jadi mesin gol malah tumpul. Federico Chiesa sering terisolasi di sisi lapangan, sementara lini tengah kehilangan kreativitas setelah hengkangnya beberapa pemain penting.
Pada laga melawan Real Madrid di Liga Champions, Juventus tampil disiplin namun tanpa ancaman berarti. Mereka kalah 0–1 tanpa menciptakan peluang berbahaya. Dua laga Serie A sebelumnya pun sama saja. Imbang tanpa gol melawan AC Milan dan kalah 0–2 dari Como menambah daftar hasil mengecewakan.
Taktik Igor Tudor yang mengandalkan pressing tinggi belum berjalan efektif. Pemain sering kehilangan posisi, dan lawan dengan mudah memanfaatkan celah di lini belakang. Ketika serangan gagal, mereka sering kehilangan bola di area berbahaya. Kombinasi antara ketidakefektifan di depan dan kerapuhan di belakang menjadi resep bencana.
Dari Kemenangan Epik ke Rentetan Hasil Buruk
Padahal, hanya sebulan sebelumnya Juventus sempat membuat fans berharap. Kemenangan 4–3 atas Inter Milan menjadi sorotan karena permainan menyerang yang atraktif. Namun kemenangan itu justru menjadi titik puncak sesaat sebelum semuanya runtuh.
Setelah laga tersebut, Juventus seperti kehilangan semangat. Dalam enam pertandingan terakhir, mereka tidak merasakan kemenangan satu pun. Statistik menunjukkan penurunan drastis dalam jumlah tembakan tepat sasaran dan peluang tercipta.
Masalah utama bukan hanya soal taktik, tapi juga psikologis. Tim terlihat kehilangan kepercayaan diri setiap kali kebobolan lebih dulu. Beberapa pemain muda tampak tertekan karena ekspektasi tinggi. Dalam situasi seperti ini, pelatih sering kali menjadi sasaran kritik utama.
Igor Tudor di Bawah Tekanan Berat
Sebagai pelatih baru yang diangkat secara permanen musim panas lalu, Igor Tudor menghadapi situasi sulit. Ekspektasi terhadapnya tinggi karena dianggap mampu membawa semangat baru setelah era Thiago Motta yang berakhir pahit. Namun performa tim justru menurun drastis.
Tudor dikenal sebagai pelatih dengan filosofi agresif dan intensitas tinggi. Sayangnya, gaya itu belum cocok dengan karakter skuad Juventus saat ini. Banyak pemain veteran kesulitan mengikuti tempo tinggi latihan, sementara pemain muda belum sepenuhnya memahami sistem permainan.
Akibatnya, permainan Juventus kerap tidak konsisten. Kadang mereka bisa mendominasi babak pertama, tetapi kehilangan fokus di babak kedua. Tudor sendiri sempat mengakui dalam wawancara bahwa “tim ini masih belajar menjadi satu kesatuan”. Meski demikian, para penggemar sudah kehilangan kesabaran. Di media sosial, tagar #TudorOut mulai ramai diperbincangkan.
Luka Lama Bernama Keuangan
Masalah Juventus tidak berhenti di lapangan. Di balik layar, krisis keuangan menjadi duri terbesar bagi manajemen. Klub masih menanggung beban gaji dan kompensasi dari pelatih sebelumnya, Thiago Motta, yang dipecat akhir musim lalu.
Kabarnya, Juventus masih harus membayar sekitar 12 juta euro untuk Motta dan stafnya. Sementara Tudor digaji sekitar 8 juta euro per tahun. Artinya, klub mengeluarkan hampir 20 juta euro hanya untuk dua pelatih — satu aktif, satu sudah pergi.
Situasi ini tentu berat, apalagi di tengah turunnya pendapatan klub. Gagal lolos ke babak final Liga Champions membuat mereka kehilangan potensi pendapatan besar dari hak siar dan sponsor. Penjualan tiket juga menurun karena performa tim yang tidak stabil.
Ancaman Financial Fair Play (FFP)
Krisis keuangan ini menjadi lebih serius karena UEFA kembali menyoroti laporan finansial Juventus. Berdasarkan peraturan Financial Fair Play, klub hanya boleh mengalami kerugian maksimal 90 juta euro dalam tiga tahun terakhir. Namun laporan menunjukkan Juventus berpotensi melampaui batas itu.
Jika pelanggaran terbukti, sanksi bisa berat. Mulai dari denda besar hingga larangan tampil di kompetisi Eropa musim depan. Hal ini tentu menjadi pukulan telak, mengingat partisipasi di Liga Champions merupakan sumber pemasukan utama klub.
Skenario terburuknya, Juventus bisa kehilangan daya saing finansial di antara raksasa Eropa lainnya. Ketika pendapatan menurun, mereka akan kesulitan membeli pemain berkualitas atau mempertahankan bintang yang ada.
Dilema Manajemen: Bertahan atau Berubah?
Bagi manajemen Juventus, situasi ini ibarat jalan buntu. Mereka tahu performa tim harus segera membaik, tapi mengganti pelatih berarti menambah beban keuangan baru. Tudor baru saja menandatangani kontrak jangka panjang, sehingga pemecatan akan memerlukan kompensasi besar.
Di sisi lain, mempertahankannya tanpa hasil bisa memperparah krisis moral dan kepercayaan. Pilihan sulit ini membuat direktur olahraga dan dewan klub berada dalam tekanan berat.
Beberapa laporan menyebut Juventus sempat menghubungi pelatih lain seperti Antonio Conte dan Gian Piero Gasperini, tapi negosiasi tidak berlanjut karena faktor biaya. Untuk saat ini, klub tampaknya masih memberikan kepercayaan kepada Tudor sambil berharap tren negatif segera berhenti.
Turunnya Daya Saing di Serie A
Selama lebih dari satu dekade, Juventus menjadi simbol dominasi di Serie A. Namun kini posisi mereka di papan atas mulai digeser oleh klub-klub lain seperti Inter Milan, Napoli, dan AC Milan. Bahkan tim-tim seperti Fiorentina dan Como mampu menahan atau mengalahkan mereka.
Perubahan ini tidak terjadi tiba-tiba. Juventus gagal beradaptasi dengan perkembangan taktik sepak bola modern. Ketika klub lain membangun skuad muda yang dinamis, Juventus masih mengandalkan kombinasi pemain senior dan talenta baru yang belum matang.
Ketika performa menurun, daya tarik klub pun ikut menurun. Pemain-pemain top lebih memilih klub lain yang stabil secara finansial dan kompetitif secara permainan. Inilah dampak domino yang kini dirasakan Juventus.
Efek Domino terhadap Pendapatan Klub
Setiap hasil buruk di lapangan berdampak langsung pada neraca keuangan. Pendapatan dari sponsor, penjualan merchandise, dan hak siar menurun. Bahkan kehadiran penonton di Allianz Stadium ikut anjlok.
Selain itu, Juventus juga kehilangan daya tarik di pasar global. Klub yang dulu jadi magnet bagi merek-merek besar kini mulai kehilangan pamor. Para investor pun ragu menanamkan modal baru sebelum situasi stabil.
Kondisi ini memaksa manajemen untuk mulai mempertimbangkan restrukturisasi keuangan. Mereka mungkin harus menjual beberapa pemain berharga atau memangkas gaji besar agar bisa bertahan.
Peran Fans di Tengah Krisis
Tak ada klub besar tanpa dukungan fans, dan Juventus punya basis penggemar yang sangat loyal. Namun kesetiaan itu kini diuji. Banyak fans kecewa dengan performa tim dan mulai mempertanyakan arah klub.
Mereka menilai manajemen terlalu lambat mengambil keputusan strategis. Sementara itu, beberapa kelompok suporter menyerukan transparansi lebih besar dalam pengelolaan keuangan klub.
Meski demikian, sebagian fans tetap memilih bertahan dan mendukung penuh tim, percaya bahwa badai ini hanya sementara. Mereka berharap Juventus bisa bangkit seperti era sebelumnya, ketika sempat terdegradasi ke Serie B namun kembali menjadi juara Italia beberapa musim kemudian.
Harapan untuk Bangkit
Krisis tidak selalu berakhir dengan kehancuran. Jika dikelola dengan tepat, situasi ini bisa menjadi momentum kebangkitan. Juventus punya modal kuat — sejarah panjang, akademi muda potensial, dan dukungan finansial dari pemilik klub.
Langkah awal yang realistis adalah fokus memperbaiki performa di lapangan. Hasil positif bisa memperbaiki atmosfer ruang ganti dan meningkatkan nilai komersial klub. Setelah itu, manajemen harus menata ulang struktur gaji, memprioritaskan pemain muda berbakat, dan meminimalkan pengeluaran tidak penting.
Selain itu, hubungan antara pelatih dan pemain perlu diperkuat. Ketika ruang ganti kembali kompak, taktik apa pun bisa dijalankan lebih efektif. Juventus harus menemukan kembali identitasnya sebagai klub yang kuat, disiplin, dan tak mudah menyerah.
Pelajaran dari Masa Lalu
Juventus bukan pertama kali menghadapi badai besar. Pada 2006, mereka terhempas ke Serie B karena skandal Calciopoli. Tapi dari krisis itu, klub belajar membangun ulang sistemnya dan kembali ke puncak.
Sejarah itu bisa menjadi inspirasi. Bedanya, tantangan sekarang bukan soal skandal, tapi soal ketidakseimbangan keuangan dan performa. Namun esensinya sama: Juventus harus berani berubah.
Kesalahan terbesar adalah menunda perubahan. Dunia sepak bola bergerak cepat, dan klub yang tidak beradaptasi akan tertinggal. Juventus kini harus menentukan apakah mereka ingin bangkit seperti dulu, atau perlahan kehilangan status elitnya.
Kesimpulan: Antara Harapan dan Realitas
Juventus sedang berada di persimpangan penting. Krisis poin di lapangan dan tekanan keuangan di meja manajemen saling menekan satu sama lain. Pelatih tertekan, pemain kehilangan kepercayaan diri, dan manajemen harus berpikir keras mencari solusi.
Namun di balik semua kesulitan ini, Juventus masih punya potensi besar untuk bangkit. Klub ini dibangun atas dasar keteguhan, kerja keras, dan tradisi kemenangan. Nilai-nilai itu tidak hilang — hanya tertutup oleh situasi sulit sementara.
Jika mereka mampu menyatukan kembali visi, memperbaiki manajemen, dan memulihkan semangat juang di lapangan, maka Juventus bisa kembali menjadi kekuatan besar yang disegani di Italia dan Eropa. Tapi untuk saat ini, satu hal jelas: kebangkitan tidak datang dari nama besar, melainkan dari keberanian untuk berubah.
Komentar0