
Bariskabar - Pertandingan besar sering kali bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tapi juga tentang bagaimana para pemain bintang menunjukkan karakter mereka di momen paling penting.
Begitu pula yang terjadi saat Real Madrid harus mengakui keunggulan Liverpool di Anfield pada laga Liga Champions 2025. Satu gol tunggal dari Alexis Mac Allister cukup membuat Madrid pulang tanpa poin, dan hasil itu ternyata memunculkan gelombang kritik—terutama ditujukan kepada Vinícius Júnior, sang winger eksplosif asal Brasil yang selama ini dikenal mematikan di sisi kiri serangan Los Blancos.
Namun, bukan hanya fans yang kecewa. Legenda sepak bola Prancis sekaligus mantan penyerang Arsenal dan Barcelona, Thierry Henry, ikut bersuara. Ia menilai Vinícius bermain tidak efektif, kehilangan agresivitas, dan tampak lebih sibuk bermain indah daripada menuntaskan peluang.
Kritik Henry ini langsung ramai dibahas karena datang dari sosok yang paham betul soal peran winger dalam permainan modern. Tapi apa sebenarnya inti dari kritik itu? Apakah Vinícius benar-benar menurun, atau justru ada konteks yang membuatnya tampak seperti kehilangan taring?
Yuk, kita bahas lebih dalam, dari sudut pandang taktik, psikologi pemain, hingga bagaimana Real Madrid seharusnya merespons situasi ini.
Laga yang Memicu Kritik
Real Madrid datang ke Anfield dengan percaya diri tinggi. Mereka belum terkalahkan di fase grup Liga Champions, dan duet Kylian Mbappé – Vinícius Jr diharapkan bisa membuat pertahanan Liverpool kewalahan. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pertahanan Liverpool tampil solid, pressing ketat membuat lini serang Madrid mati kutu.
Dalam 90 menit, Madrid hanya melepaskan delapan tembakan tanpa satu pun mengarah tepat ke gawang. Mbappé terisolasi di lini depan, sementara Vinícius terlihat kesulitan menembus sisi kanan pertahanan Liverpool yang dijaga bek muda Conor Bradley. Justru Bradley yang mendapat pujian karena sukses “mematikan” pergerakan Vinícius hampir sepanjang laga.
Setelah pertandingan, Henry—yang menjadi analis di CBS Sports—menyoroti perilaku Vinícius di lapangan. Ia tampak frustrasi, enggan melakukan pressing, dan terlalu lama menggiring bola. “Kamu harus bermain sesuai situasi. Jika ada ruang, gunakan. Jangan menunggu momen sempurna yang tidak datang,” ujar Henry.
Kritik ini langsung menyebar luas di media sosial. Sebagian setuju bahwa Vinícius memang tampil kurang greget, sementara sebagian lain menilai Henry terlalu keras terhadap pemain muda yang sedang berjuang menemukan ritme permainan.
Siapa Sebenarnya Vinícius Jr?
Vinícius José Paixão de Oliveira Júnior, atau lebih akrab disapa Vini Jr, lahir di São Gonçalo, Brasil, pada tahun 2000. Ia dikenal dengan kecepatan, dribel tajam, dan energi tanpa henti di sayap kiri. Sejak bergabung dengan Real Madrid pada 2018, ia berkembang menjadi salah satu pemain paling penting di skuad.
Musim 2021–2022 menjadi titik balik dalam kariernya. Ia mencetak gol penting di final Liga Champions melawan Liverpool dan menjadi simbol kebangkitan generasi baru Madrid. Tapi seiring meningkatnya ekspektasi, tekanan terhadap Vinícius juga bertambah besar. Ia tidak hanya diminta tampil bagus, tapi juga konsisten setiap pekan.
Di musim 2025, beban itu makin berat karena hadirnya Mbappé. Duet dua pemain bintang ini diharapkan menciptakan kombinasi mematikan, tetapi dalam praktiknya belum sepenuhnya klik. Kadang Vinícius terlihat terlalu ingin menjadi pusat perhatian, sementara Mbappé juga terbiasa bermain dengan gaya serupa. Hasilnya, serangan Madrid sering kehilangan keseimbangan.
Henry dan Kritiknya yang Menohok
Thierry Henry bukan sosok sembarangan. Ia tahu betul bagaimana rasanya menjadi pemain sayap dengan tanggung jawab mencetak gol dan menciptakan peluang. Maka, ketika ia menilai ada yang salah dengan pendekatan Vinícius, tentu ada dasar yang kuat.
Menurut Henry, masalah utama Vinícius bukan pada kemampuan teknis, tapi pada pemahaman situasional. Dalam pertandingan melawan Liverpool, ia beberapa kali mendapat kesempatan satu lawan satu menghadapi Conor Bradley, namun tidak memanfaatkannya dengan baik.
“Dalam lima menit pertama, dia seharusnya bisa menekan Bradley sampai bek muda itu gugup. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia memberinya ruang untuk bernapas,” kata Henry.
Komentar ini terdengar sederhana, tapi sangat tajam. Dalam sepak bola, seorang pemain sayap yang agresif bisa mengubah jalannya pertandingan hanya dengan menekan lawan secara konsisten di awal laga. Itu tidak dilakukan Vinícius.
Henry menambahkan, “Kadang orang ingin bermain indah padahal tidak perlu. Kalau ada ruang, langsung saja kirim bola atau tembak. Jangan terlalu banyak berputar-putar.”
Kalimat itu seperti tamparan keras bagi pemain yang dikenal flamboyan di lapangan.
Terlalu Fokus pada Gaya, Lupa pada Efektivitas
Bukan rahasia kalau Vinícius sering tampil dengan gaya khasnya: step-over cepat, gocekan penuh percaya diri, dan selebrasi berapi-api. Namun, terkadang gaya itu justru menjadi jebakan. Dalam beberapa laga terakhir, ia tampak lebih sering mencoba melewati tiga atau empat pemain sekaligus ketimbang mencari rekan yang bebas.
Dalam konteks pertandingan melawan Liverpool, hal ini terlihat jelas. Alih-alih memanfaatkan situasi sederhana, ia justru memilih mengembalikan bola ke lini belakang, lalu mencoba lagi dengan cara yang sama. Hasilnya, ia harus menghadapi tiga pemain sekaligus. Henry menyebut hal itu sebagai bentuk “keputusan yang tidak rasional di lapangan.”
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak pemain muda berbakat yang terlalu ingin menunjukkan skill individual. Tapi di level tertinggi seperti Liga Champions, yang lebih penting bukanlah keindahan, melainkan hasil. Dan di titik ini, Henry menilai Vinícius belum matang sepenuhnya.
Faktor Mental dan Tekanan Besar
Selain taktik, faktor psikologis juga memainkan peran besar dalam performa Vinícius. Ia dikenal emosional, mudah terpancing provokasi, dan terkadang kehilangan fokus ketika lawan bermain keras.
Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan terlihat marah kepada wasit atau rekan setimnya ketika merasa tidak mendapat dukungan yang cukup. Hal ini kembali muncul saat Madrid kalah dari Liverpool—wajah kecewa Vinícius tertangkap kamera ketika diganti oleh pelatih.
Sebelum laga ini, Vinícius juga sempat disorot karena reaksi emosional di El Clásico. Ia tampak tidak senang ketika ditarik keluar oleh pelatih dan kemudian meminta maaf secara terbuka setelahnya. Sikap ini menunjukkan betapa besar tekanan yang ia rasakan untuk selalu tampil sebagai bintang.
Psikolog olahraga menyebut bahwa pemain muda dengan ekspektasi besar sering kali terjebak dalam tekanan untuk selalu “perfect”. Akibatnya, mereka mudah frustrasi ketika hasil tidak sesuai harapan. Dalam kasus Vinícius, tekanan dari publik, media, dan statusnya sebagai wajah baru Real Madrid mungkin membuatnya sulit bermain lepas.
Masalah Kolaborasi dengan Mbappé
Kehadiran Mbappé di Real Madrid seharusnya menjadi kabar baik bagi Vinícius. Dua pemain cepat dengan naluri menyerang tinggi bisa menciptakan duet berbahaya. Namun dalam praktiknya, chemistry keduanya belum stabil.
Vinícius terbiasa menjadi pusat serangan di sisi kiri, sementara Mbappé juga cenderung bermain melebar ke kiri sebelum memotong ke tengah. Akibatnya, keduanya sering “bertabrakan” posisi. Dalam beberapa pertandingan, hal ini membuat Madrid kehilangan fokus menyerang karena keduanya tampak ingin memainkan peran yang sama.
Kritik Henry secara tidak langsung juga menyinggung hal ini. Ia menilai pemain Madrid terlalu kaku dalam menyerang, tidak cukup improvisasi, dan terlalu banyak daur ulang umpan. “Mereka harusnya lebih fleksibel. Jika satu pemain ditutup, pemain lain harus segera mengisi ruang itu,” ujar Henry.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah Vinícius bukan hanya individu, tapi juga soal koordinasi dan peran di dalam tim.
Taktik dan Peran dalam Skema Xabi Alonso
Pelatih Real Madrid, Xabi Alonso, dikenal sangat taktis dan detail. Ia menuntut pemainnya untuk disiplin dalam struktur, termasuk winger seperti Vinícius. Alonso ingin pemain sayap tidak hanya menyerang, tetapi juga membantu pressing dan menutup ruang.
Namun, gaya bermain Vinícius yang cenderung bebas kadang tidak cocok dengan pendekatan ini. Ia lebih nyaman diberi ruang improvisasi, seperti saat dilatih Carlo Ancelotti. Dalam sistem Alonso yang lebih terkontrol, kebebasan itu sedikit berkurang, dan ini bisa mempengaruhi kepercayaan dirinya.
Mungkin inilah alasan mengapa ia tampak tidak seagresif biasanya di Anfield. Ia tampak ragu kapan harus menekan, kapan harus bertahan, dan kapan harus melepas bola. Kombinasi antara kebingungan taktik dan frustrasi pribadi menghasilkan performa yang jauh dari harapan.
Reaksi Publik dan Media
Kritik Henry cepat menyebar di dunia maya. Di platform X (Twitter), tagar #Vinicius dikritikHenry sempat menjadi trending. Banyak fans Real Madrid setuju bahwa Vini harus lebih efisien dan tidak terlalu egois. Namun, ada juga yang membela, mengatakan bahwa Henry seharusnya memahami konteks permainan modern yang lebih kompleks.
Menariknya, beberapa mantan pemain juga ikut berkomentar. Gareth Bale, yang pernah menjadi rekan setim Vinícius, mengatakan bahwa kritik Henry cukup masuk akal. “Kadang mereka terlalu mempersulit diri sendiri. Padahal mereka punya kecepatan untuk menembus bek lawan,” ujarnya di TNT Sports.
Komentar Bale memperkuat pandangan bahwa masalah Vinícius bukan soal kemampuan, tetapi soal keputusan di lapangan. Ketika ia memilih opsi yang salah dalam waktu krusial, peluang Madrid otomatis menguap begitu saja.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Setiap kritik seharusnya menjadi peluang untuk berkembang. Dalam kasus ini, ada beberapa pelajaran penting bagi Vinícius—dan juga bagi pemain muda lain:
-
Efektivitas lebih penting daripada gaya.
Dribel dan skill memang menarik, tapi yang menentukan hasil adalah keputusan cepat dan akurat. -
Konsistensi adalah kunci.
Menjadi bintang di satu pertandingan tidak cukup. Pemain besar harus bisa tampil stabil dalam tekanan tinggi. -
Mental kuat menghadapi kritik.
Kritik dari sosok seperti Henry seharusnya dijadikan motivasi, bukan beban. -
Adaptasi terhadap taktik pelatih.
Pemain modern harus bisa menyesuaikan diri dengan sistem, bukan memaksa sistem mengikuti dirinya. -
Komunikasi di lapangan penting.
Jika koordinasi dengan rekan seperti Mbappé tidak baik, maka efektivitas serangan akan turun drastis.
Apa Selanjutnya untuk Vinícius Jr?
Kekalahan di Anfield tentu menjadi tamparan keras bagi Real Madrid, tapi bagi Vinícius, ini bisa menjadi titik refleksi penting. Dalam usia 25 tahun, ia sudah mencapai banyak hal, tapi masih punya ruang besar untuk tumbuh.
Henry bahkan sempat melunakkan komentarnya beberapa hari setelah laga. Dalam wawancara dengan media Spanyol, ia mengatakan, “Saya mengkritik karena saya peduli. Saya juga pernah muda dan membuat kesalahan. Tapi saya tahu Vinícius cukup berbakat untuk belajar.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa kritik Henry sebenarnya lebih seperti peringatan daripada cemoohan. Ia ingin melihat Vinícius kembali ke performa terbaiknya—yang dulu menakutkan lawan di setiap kesempatan.
Dengan dukungan pelatih, rekan setim, dan fans, bukan tidak mungkin Vinícius kembali menemukan “percikan ajaib” yang sempat hilang. Tapi untuk itu, ia harus mau merendahkan ego, bermain lebih efisien, dan fokus pada hasil, bukan hanya penampilan.
Kesimpulan
Kritik Thierry Henry terhadap Vinícius Jr sebetulnya menggambarkan masalah klasik dalam sepak bola modern: antara gaya dan substansi. Vinícius punya semua atribut pemain top—kecepatan, teknik, flair—tetapi tanpa disiplin taktik dan pengambilan keputusan tepat, semua itu bisa jadi sia-sia.
Bagi Real Madrid, ini juga menjadi refleksi penting. Ketika dua pemain besar seperti Mbappé dan Vinícius tidak menemukan harmoni, sistem tim secara keseluruhan ikut terganggu.
Namun, kisah ini belum berakhir. Sejarah menunjukkan bahwa pemain hebat justru tumbuh melalui kritik. Jika Vinícius mampu mengambil pelajaran dari ucapan Henry dan mengubahnya menjadi motivasi, bukan tidak mungkin ia akan kembali menjadi salah satu winger paling mematikan di dunia.
Pada akhirnya, sepak bola bukan hanya soal siapa yang paling indah bermain, tapi siapa yang paling efektif membawa timnya menuju kemenangan.
Komentar0